Care, connectivity, dan culture: Fondasi sosiokultural dalam program Makan Bergizi Gratis

Dalam program Makan Bergizi Gratis, aspek sosiokultural seperti perawatan, keterhubungan, dan hasrat kultural masih belum terlihat; padahal, kurangnya perhatian pada aspek ini dapat menimbulkan dampak negatif. Lantas, bagaimana peran ketiganya dalam mendukung keberhasilan program pangan nasional?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan ambisi pemerintah yang cukup tinggi: dalam waktu tujuh bulan, program ini diharapkan dapat membangun 5.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta mencapai 17,5 juta jiwa penerima manfaat, yang mencakup siswa/i, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Durasi tersebut terbilang cukup singkat untuk target yang besar, terlebih ketika target mencakup perubahan preferensi dan pola makan populasi ke arah yang lebih sehat. 

Selain itu, masih luput dalam rancangan dan pelaksanaan program adalah aspek sosiokultural, seperti penanaman hasrat kultural (cultural desire), perawatan (care), dan keterhubungan dengan komunitas dan aktor lain (connectivity). 

Padahal, dalam program atau kebijakan pangan nasional seperti MBG, aspek sosiokultural berpotensi membuat pengalaman makan menjadi menyenangkan dan dengan demikian mempercepat perubahan preferensi dan pola makan yang tergolong ‘baru’ untuk penerima manfaat.

Lantas, apa bentuk dan peran penanaman hasrat kultural (cultural desire), perawatan (care), dan keterhubungan dengan komunitas dan aktor lain (connectivity) dalam mendukung keberhasilan program MBG?

Peran hasrat kultural (cultural desire) dalam mendorong konsumsi pangan yang ‘baru’ 

Terdapat  banyak faktor yang memengaruhi pilihan konsumsi makanan oleh individu atau komunitas. Dari faktor material, seperti ketersediaan suatu makanan dan sumber pangan di suatu lokasi yang mempengaruhi harga dan keterjangkauannya; faktor biologis, yang berkaitan dengan rangsangan sensorik, seperti rasa, aroma, tekstur, warna, serta karakteristik fisiologis (tingkat kepedasan dan kegosongan); hingga faktor sosiokultural, yang melibatkan kepercayaan, nilai, dan norma terkait apa yang dianggap layak atau tidak layak dikonsumsi (edible atau inedible). 

Ketiga hal ini saling berhubungan dalam membentuk pola makan seseorang, dan telah sejak lama digunakan sebagai basis perumusan kebijakan pangan, khususnya jenis kebijakan yang bertujuan untuk memengaruhi pola makan masyarakat melalui pengenalan makanan ‘baru’ yang dianggap ideal. 

Sebagai contoh, di beberapa daerah di Indonesia, beras cenderung dianggap sebagai komoditas yang lebih unggul dibandingkan karbohidrat lokal non-beras lainnya. Persepsi ini muncul karena beras diasosiasikan dengan makanan pendatang yang menetap di wilayah komunitas asli, dan pendatang tersebut dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal yang distigmatisasi sebagai ‘terbelakang’. 

Persepsi ini pula yang mendorong masyarakat untuk mengadopsi beras demi menjadi bagian dari golongan yang didambakan dan melepaskan diri dari stigma ‘terbelakang’. 

Di India, produk mi instan Maggi dikonsumsi secara masif oleh berbagai kalangan karena nilai kultural yang melekat padanya. 

Bagi anggota kasta yang dianggap rendah, yang pola makannya kerap distigmatisasi oleh kasta lain di atasnya, mi instan Maggi dianggap sebagai makanan yang netral–tidak terasosiasi dengan diet kasta tertentu, tetapi tetap menandakan sebentuk modernitas. Konsumsinya memberikan pengalaman sesaat akan kesetaraan simbolik, karena juga dinikmati oleh kasta yang lebih tinggi. 

Tanpa menihilkan dampak konsumsi beras dan mi instan terhadap gizi dan kesehatan, kedua contoh di atas menunjukkan bahwa makanan ‘baru’ tidak semata dikonsumsi karena ketersediaannya, kepraktisan pengolahan, atau rasa.

Artinya, faktor sosiokultural dalam pangan membentuk hasrat untuk menjadi bagian dari sesuatu, memiliki, atau melakukan hal-hal yang dianggap berharga, menyenangkan, dan menumbuhkan rasa agensi.


Bahkan, faktor sosiokultural ini telah dimanfaatkan oleh industri pangan ultraproses dalam strategi pemasaran dengan menggunakan influencer yang menciptakan tren makan tertentu agar pengikutnya ikut mengadopsi pola konsumsi serupa. 

Peran aspek perawatan (care) dan keterhubungan (connectivity) dalam aktivitas makan 

Selain hasrat, keinginan, dan pandangan terhadap pangan yang membentuk pola makan, aspek seperti perawatan (care) dan keterhubungan (connection), baik dengan sesama manusia maupun nonmanusia (hewan, tumbuhan, dan lainnya), merupakan dimensi sosiokultural lain yang juga tidak kalah penting.

Dalam komunitas adat Marind di Papua Barat, konsumsi sagu berlangsung seiring dengan pengasuhan anak dan perawatan ekologis yang terkodifikasi dalam budaya dan ritual. Keluarga membesarkan anak-anak di dusun sagu, membimbing mereka untuk merawat pohon sagu dengan berbagai cara, serta mengenalkan hutan melalui tanaman, hewan, lagu, cerita, dan mitos yang menanamkan pemahaman tentang relasi timbal balik antarspesies yang hidup di dalamnya.

Sentral dalam perawatan ini adalah proses menemani, interaksi yang personal, dan apa yang disebut Chao (2021) sebagai ‘education of attention’, di mana anak-anak mengonsumsi sagu bukan hanya melalui rasa, tetapi dengan seluruh panca indra yang terhubung pada ekosistem hutan secara menyeluruh. 

Hal serupa juga ditemukan di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Meskipun persiapannya cukup rumit dan membutuhkan banyak bahan, segelintir orang muda di Makassar masih memilih mengonsumsi kapurung (makanan tradisional Sulawesi Selatan) bukan hanya hanya karena mendambakan rasanya, tetapi juga karena menginginkan kebersamaan dalam memasak dan mengonsumsinya. 

Berbahan dasar sagu dan dilengkapi dengan asam mangga muda, patikala, pengasam, terong bulat, dan aneka sayuran, kapurung harus dimasak dalam satu waktu agar tidak cepat rusak. Hal ini menjadikan pengolahannya lebih praktis jika dilakukan dalam jumlah besar, yang secara tidak langsung menegaskan nilai kolektivitas dalam budaya kuliner setempat.

Peran aspek perawatan dan keterhubungan juga ditegaskan oleh Elliot dan Black (2020) dalam studi mereka tentang school nourishment program atau program gizi sekolah di New Westminster, Kanada. 

Mereka menunjukkan bahwa anak-anak lebih semangat mengonsumsi makanan yang disiapkan secara personal oleh orang-orang yang menunjukkan kepedulian–misalnya, ketika petugas makan siang mengingat dan mengakomodir preferensi mereka dan menyelipkan catatan kecil penyemangat dalam bekal. Anak-anak juga menikmati waktu berbagi makanan dengan teman sebaya sembari mengobrol di waktu istirahat.

Maka dapat disimpulkan bahwa perawatan dan keterhubungan memberi makna emosional pada pengalaman makan, sekaligus menjaga keterikatan seseorang terhadap makanan tertentu.

Aspek care, connectivity, dan cultural desire dalam program makan di sekolah

Di berbagai negara, program makan di sekolah (school meal program, SMP) telah dirancang dan dikembangkan secara kreatif dengan mengadopsi tiga aspek sosiokultural yang mendorong terciptanya pengalaman makan yang positif. 

Di Jepang, SMP yang dikenal dengan Gakkō kyūshoku bertujuan untuk mengajarkan siswa/i untuk ‘makan dengan (perasaan) senang’ melalui kegiatan pangan, gizi, dan budaya makan yang kreatif dan partisipatif. Misalnya, siswa/i diberikan kesempatan untuk merancang menu mereka sendiri untuk nantinya disajikan di sekolah atau membagikan makanan ke seisi kelas dalam piket bergiliran. Piket ini dilakukan dengan pendampingan guru, di mana para guru menjelaskan komposisi makanan yang dikonsumsi para siswa/i, yang mencakup kandungan gizinya hingga asal-usul bahan makanan tersebut, termasuk siapa petani yang memproduksi bahan-bahan makanan.

Dalam hal ini, aspek perawatan (care) tercermin dari kepedulian guru dan ahli gizi di sekolah untuk menciptakan pengalaman makan yang bermakna bagi para siswa/i. Sementara, aspek keterhubungan (connectivity) terlihat dalam upaya mengajarkan asal-usul makanan, yang menghubungkan siswa/i dengan komunitas pertanian dan rantai pangan yang lebih luas.  

Di Prancis, program makan di sekolah diselaraskan dengan pendidikan berbasis pada pengalaman (experiential learning) yang berfokus untuk mengajarkan ‘rasa’ (educating taste). 

Selain memasukkan isu pangan dan kebudayaan ke dalam kurikulum, sekolah juga menyelenggarakan festival tahunan yang dilangsungkan dalam satu pekan, di mana siswa/i diajak mengunjungi pengrajin pangan, juga memasak dan mencicipi aneka makanan dari berbagai daerah di Prancis sebagai bentuk apresiasi terhadap kuliner lokal. Aspek keterhubungan dengan komunitas terlihat dari pertemuan langsung para murid dengan para pelaku dalam rantai pasok pangan.

Dalam membentuk hasrat dan makna sosiokultural terhadap makanan yang dianggap berharga, program makan siang di sekolah ala Jepang dan Prancis telah menunjukkan pendekatan yang melampaui sekadar penyediaan makanan. 

Keduanya merupakan bagian dari strategi pangan nasional yang menanamkan ideologi dan kebanggaan terhadap budaya pangan mereka, dan memosisikan kuliner nasional sebagai simbol identitas dan superioritas budaya melalui saluran diplomasi gastro, media populer, dan kebijakan perlindungan kuliner lainnya. Mengonsumsi makanan khas pun menjadi pengalaman yang berharga dan membanggakan. 

Makan Bergizi Gratis: Langkah ke depan 

Makanan bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari budaya yang membentuk preferensi, kebiasaan, dan pola makan. Karena itu, program MBG akan lebih efektif apabila tidak hanya berfokus pada distribusi makanan sehat, tetapi juga menjadi gerakan budaya yang mengangkat makanan Indonesia sebagai sesuatu yang berharga dan membanggakan. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, program MBG perlu mengadopsi strategi berbasis care (perawatan), connection (keterhubungan), dan culture (kebudayaan) dengan pendekatan yang lebih kreatif dan partisipatif, seperti: 

  • Membangun hasrat makan sehat

Gunakan influencer, budaya populer, dan edukasi gizi yang menarik bagi peserta didik. Strategi ini dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah agar anak-anak terlibat langsung dalam memahami dan menghargai makanan mereka. Selain contoh dari Jepang dan Prancis, program Jamie’s School Dinners (2005) di Inggris, di mana koki Jamie Oliver melibatkan siswa/i dalam merumuskan dan menyiapkan makanan sekolah, juga menarik untuk dieksplorasi.

  • Mengutamakan perawatan dan keterhubungan

Alih-alih menggunakan personel militer yang menciptakan kesan pengawasan dan tekanan bagi peserta didik, libatkan komunitas lokal, seperti produsen pangan, koki, dan orang tua, dalam penyediaan dan penyajian makanan. Keterlibatan ini dapat membangun rasa memiliki, meningkatkan antusiasme anakterhadap makanan sehat, dan menciptakan pengalaman makan yang lebih personal dan bermakna. 

  • Melengkapi program dengan edukasi interaktif

Tidak hanya menyediakan makanan, MBG harus disertai dengan edukasi dan aktivitas pendukung, seperti kunjungan ke kebun pangan beragam, memasak bersama, serta sesi eksplorasi rasa. Kegiatan ini dapat membantu membangun keterikatan emosional anak dengan makanan sehat, sejalan dengan model SMP di berbagai negara yang dilengkapi dengan pendidikan dan layanan pelengkap lainnya. 

Pendekatan semacam ini memang akan memerlukan waktu lebih lama dibanding sekadar menyalurkan makanan.

Namun, MBG (atau SMP lainnya) tidak seharusnya dianggap hanya sebagai program pemberian makanan–pada akhirnya, ini bukan sekadar pemberian sembako. 

Jika ingin benar-benar menciptakan perubahan pola makan yang lebih berkelanjutan dan mampu meningkatkan status gizi dan kesehatan penerima manfaat, maka kebijakan ini harus dirancang dengan matang dan komprehensif, dengan memastikan keselarasan antara sumber daya, efisiensi operasional, dan hasil yang ingin dicapai. 

Semua ini dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang mendasar: Siapa yang berhak menentukan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak? Apabila Negara memegang kewenangan tersebut, bagaimana kebijakan yang diambil dapat selaras dengan kebutuhan penerima manfaat serta mempertimbangkan aspek kesehatan, lingkungan, ekonomi, dan sosiokultural? Bagaimana program ini dapat mendorong upaya transformasi sistem pangan berkelanjutan sebagai komitmen Indonesia?

Karena pada akhirnya, pangan bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal nilai, makna, dan masa depan.

 

Sumber:

  1. Abrahamson, J.L. (2006) Food culture in France. Bloomsbury Publishing (Food Culture around the World).

  2. Allison, A. (2000) ‘Japanese Mothers and ObentōS: The Lunch Box as Ideological State Apparatus’, in Permitted and Prohibited Desires: Mothers, Comics, and Censorship in Japan. University of California Press. Available at: https://doi.org/10.1525/california/9780520219908.003.0004.

  3. Badan Gizi Nasional (2024) ‘Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Bantuan Pemerintah Untuk Program Makan Bergizi Gratis Tahun Anggaran 2025’. Badan Gizi Nasional.

  4. Baviskar, A. (2018) ‘Consumer Citizenship: Instant Noodles in India’, Gastronomica, 18(2), pp. 1–10. Available at: https://doi.org/10.1525/gfc.2018.18.2.1.

  5. Black, J. and Elliott, S. (2020) Care is the secret ingredient in school lunch programs, The Conversation. Available at: http://theconversation.com/care-is-the-secret-ingredient-in-school-lunch-programs-145573 (Accessed: 8 April 2025).

  6. Chao, S. (2021) ‘Children of the palms: growing plants and growing people in a Papuan Plantationocene’, Journal of the Royal Anthropological Institute, 27(2), pp. 245–264. Available at: https://doi.org/10.1111/1467-9655.13489.

  7. Chao, S. (2022) ‘Gastrocolonialism: the intersections of race, food, and development in West Papua’, The International Journal of Human Rights, 26(5), pp. 811–832. Available at: https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378.

  8. Global Child Nutrition Foundation (2022) SCHOOL MEAL PROGRAMS AROUND THE WORLD: Results from the 2021 Global Survey of School Meal Programs. Available at: https://gcnf.org/wp-content/uploads/2022/09/School-Meal-Programs-Around-the-World_-Results-from-the-2021-Global-Survey-of-School-Meal-Programs©.pdf.

  9. Mintz, S.W. (1996) Tasting Food, Tasting Freedom: Excursions into Eating, Culture, and the Past. Boston, Massachusetts: Beacon Press.

  10. Moffat, T. and Gendron, D. (2019) ‘Cooking up the “gastro-citizen” through school meal programs in France and Japan’, Food, Culture & Society, 22(1), pp. 63–77. Available at: https://doi.org/10.1080/15528014.2018.1547587.

  11. Salam, W.Y. (2024) Kisah Kasih dari Dapur. Bali: Penerbit Partikular.

  12. Setyowati, A.B. and Darmanto (2012) Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. DKI Jakarta: Kompas Gramedia.

  13. Sunburn, A.A. (2017) More Than a Meal: School Lunch in Japan, Association for Asian Studies. Available at: https://www.asianstudies.org/publications/eaa/archives/more-than-a-meal-school-lunch-in-japan/ (Accessed: 8 April 2025).

Next
Next

Mungkinkah piring kita bebas dari pangan ultra-proses?