Kehadiran Plastik pada Pangan Ultra-Olahan: Berbahaya Bagi Tubuh dan Bumi

Photo by Franki Chamaki on Unsplash

Meski banyak studi menunjukkan dampak buruk dari konsumsi pangan ultra-olahan (UPF) yang berlebih, Indonesia berada pada peringkat ke-10 sebagai negara dengan konsumsi UPF tertinggi. 

Sebagian besar dari kita mungkin pernah terpapar berbagai informasi dan iklan tentang makanan dan minuman dengan kemasan yang menarik perhatian. Kehadirannya seakan menjadi konsumsi rutin hari-hari dan membuatnya tampak familiar. Makanan dan minuman ini biasanya sudah melalui tahap yang intens, baik secara fisik maupun kimia, dan kerap dilekatkan pada komposisi seperti pemanis buatan, lemak jenuh, dan berbagai zat aditif. Para ahli menyebutnya sebagai ultra-processed foods (UPFs), atau pangan ultra-olahan. UPF kerap kali hadir sebagai pilihan yang praktis, terjangkau, dan diiklankan dengan sangat masif, yang dikategorikan berdasarkan klasifikasi NOVA.

Pangan yang telah melalui proses fisik dan kimia ini membawa beragam potensi risiko untuk tubuh. Tidak hanya itu, kemasan yang digunakan juga berpengaruh pada lingkungan. Penggunaan kemasan plastik memang semakin menyoroti "kepraktisan" dari produk UPF, namun kerap mengaburkan aspek yang semestinya perlu diprioritaskan ketika berbicara pangan–kesehatan dan keberlanjutan. Hingga kini, karena plastik, distribusi UPF semakin masif–dan tumpukan sampahnya pun semakin tinggi.

 

Tren penjualan UPF di negara berkembang dan ancamannya terhadap kesehatan

Sejak 1990an, penjualan UPF terus meningkat dan tetap tinggi–khususnya di negara-negara pendapatan rendah dan menengah (low and minddle income countries, LMICs). Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) PBB menyebutkan penjualan di negara-negara LMIC dipredikasi akan meningkat terus menyamai negara-negara berpendapatan tinggi pada 2035.

Data terkait konsumsi UPF secara global memperlihatkan Amerika Serikat (58%) dan Inggris (57%) sebagai konsumen tertinggi. Indonesia ada di peringkat ke-10. Namun, Touvier dkk menekankan, data ini masih terpaut pada keterbatasan penelitian, karena survei belum sepenuhnya terlaksana di beberapa negara.

Tingginya tingkat penjualan UPF di beberapa negara, termasuk Indonesia dapat menjadi peringatan penting, mengingat dampaknya terhadap kesehatan.

Beberapa studi telah membuktikan hubungan antara tingginya konsumsi UPF dengan meningkatnya resiko diabetes tipe 2, obesitas, hipertensi, kanker, radang usus, hingga penyakit kardiovaskular. Makanan ultra-olahan yang kaya akan gula, lemak jenuh, dan zat aditif biasanya menawarkan komposisi yang padat energi namun miskin nutrisi, sehingga mengganggu mekanisme rasa kenyang dan mendorong konsumsi berlebihan.

Selain itu, UPF juga diperkaya dengan kandungan seperti pewarna, pengembang, dan pengawet yang bila berlebih berdampak buruk bagi tubuh. ‘Komposisi murah’ ini dinilai sangat menarik oleh industri, yang Joanna Williams dkk sebut sebagai Big Food.

 

Metode persuasif industri pangan ultra-olahan untuk meningkatkan penjualan

Big Food dan model bisnisnya saat ini mendorong konsumsi UPF yang kurang nutrisi dengan strategi pemasaran yang intens, agresif, terarah, dan sangat efektif.

Di Brasil, beberapa peneliti mekaukan riset terhadap metode iklan yang dilakukan industri UPF di 3 stasiun televisi. Hasilnya, Mariana O. Santana dkk menemukan industri UPF menggunakan metode persuasif, yaitu serangkaian tindakan untuk meyakinkan konsumen agar membeli suatu produk tidak hanya dengan faktor rasional, tapi juga emosional dan sentimental. Sebagian besar iklan (90%) tentang makanan dan minuman mempromosikan UPF. Kemudian, studi secara global–22 negara–yang dilakukan Bridget Kelly dkk, juga menemukan iklan makanan dan minuman yang paling besar adalah UPF. Penggunaan iklan menjadi salah satu strategi marketing yang digunakan industri UPF, lainnya adalah kemasan dari UPF yang didesain menarik--biasanya dengan ilustrasi hewan, kartun, dan klaim kesehatan. Beberapa studi menyebut upaya ini cukup mampu mendorong konsumsi berlebih.

 

Kemasan pangan ultra-olahan yang membahayakan kesehatan dan lingkungan

Kemasan yang menarik dan praktis dari UPF tidak hanya mendorong konsumsi berlebih, tapi juga berdampak pada lingkungan dan kesehatan. Ada lebih dari sepertiga plastik di dunia digunakan untuk kemasan makanan.

Kemasan plastik mempermudah UPF menempuh jarak yang jauh tanpa mengganggu bentuk dan rasa. Namun, penggunaan plastik ini mempengaruhi kandungan dalam makanan yang dapat berdampak pada kesehatan.

Plastik yang berkontak langsung dengan makanan (plastic food contact materials, FCMs) umumnya mengandung banyak bahan kimia, baik yang disengaja maupun tidak. Kandungan kimia dalam FCMs ini dapat berpindah ke makanan, mulai dari peralatan untuk mengolah makanan hingga kemasan itu sendiri. Perpindahan dapat meningkat ketika produk ada dalam suhu yang tinggi, disimpan dalam waktu yang lama, atau kemasan yang volume permukaannya terlalu dekan dengan makanan. Kondisi yang umum terjadi pada pangan ultra-olahan.

Kontaminasi kandungan kimia pada UPF–juga disebut dengan food contact chemicals (FCCs)–dinilai berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa dari FCC telah diklasifikasikan sebagai bahan kimia yang berbahaya, seperti mengganggu sistem hormon pada tubuh. Kemudian ratusan kandungan kimia lainnya dapat bersifat mutagenik, karsinogenik, hingga beracun bagi reproduksi.

Penggunaan plastik FCM dari produksi hingga pengemasan pada UPF–yang umumnya melalui pemrosesan yang panjang–juga berpotensi menghasilkan mikro- dan nanoplastik (MNP) yang mencemari makanan. Bahkan MNP telah ditemukan dalam darah manusia. Meskipun hasil studi terhadap manusia belum meyakinkan, dampak MNP pada kesehatan telah ditemukan pada hewan, diantaranya menimbulkan risiko pada kesehatan reproduksi, pencernaan, dan pernapasan.

Meskipun dampak terhadap kesehatan dari kandungan kimia dan MNP pada FCM sudah diketahui, belum ada penelitian dengan uji komprehensif terkait ribuan bahan kimia yang berpindah dari plastik FCM ke pangan. Masalah ini semakin rumit karena industri pangan dan plastik tidak transparan untuk menginformasikan kandungan kimia dalam produk plastik mereka. Selain itu, industri ini juga menimbulkan permasalahan baru pada lingkungan.

Banyak dari produsen UPF, seperti Coca Cola, PepsiCo, Unilever, dan Nestle adalah aktor polusi plastik utama di dunia, dengan menghasilkan sekitar 5.5 milliar produk setiap harinya. Hanya 9% dari plastik yang dihasilkan dapat diolah kembali–yang berarti tidak dapat menandingi produksi masifnya.

Plastik telah menyebabkan polusi sedari ia dibentuk. Mulai dari proses ekstraksi bahan bakar fosil–minyak, gas, dan batubara–untuk memperoleh petrokimia. Kemudian penyulingan dan pemrosesan yang menghasilkan 1.1 Gigaton gas rumah kaca setiap tahunnya. Aktivitas ini tentu berdampak buruk pada iklim.

Industri penghasil utama petrokimia seperti BASF, Chemours, Cargill, dan DSM juga turut menyuplai bahan-bahan yang mengandung zat aditif pada UPF. Bahkan BASF juga menjadi salah satu dari Big 6 industri pertanian kimia yang menyuplai benih rekayasa genetik, pestisida, pupuk kimia, dan kebutuhan pertanian lainnya. Bahan-bahan kimia untuk pertanian telah lama diperkenalkan ke dunia, terhitung sejak 1940an hingga -1960an melalui kebijakan Revolusi Hijau. Sejak saat itu, dampak dari penggunaan bahan kimia pertanian seperti pupuk kimia dan pestisida telah menjadi perhatian para peneliti kesehatan dan lingkungan.

Input kimia pertanian adalah satu hal, lainnya bahan-bahan plastik–pupuk dan pestisida yang dienkapsulasi, mulsa, hingga greenhouse–yang digunakan dalam industri pertanian tidak kalah berdampaknya pada lingkungan.

Hingga saat ini, penggunaan plastik pada pertanian masih sering ditemukan–beberapa aktivis menyebutnya plasticulture. Fleksibilitas, keterjangkauan, dan kemudahan membuat plastik sangat disukai. Dalam setahun, pertanian dapat menggunakan plastik mencapai 14 juta ton. Padahal kandungan kimia dari partikel mikro- dan nanoplastik tetap stabil meskipun plastik telah terurai. Ketika  terakumulasi, residu bahan kimia dari plastik akan menghambat penyerapan air dan mengganggu mikroorganisme dalam tanah.

 

Ketimpangan yang terjadi akibat konsumsi pangan ultra-olahan

Penggunaan plastik untuk kebutuhan pertanian juga terjadi di Indonesia, bahkan konsumsinya mencapai 17%, tepat berada di peringkat kedua setelah penggunaan plastik untuk makanan dan minuman (60%).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ada 61.608 produk makanan dan minuman yang menggunakan kemasan plastik. Secara global, Indonesia berada di peringkat keempat sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, ada sekitar 3,2 juta ton yang tidak terkelola dengan baik. Data ini menunjukan masifnya penjualan produk UPF–dengan kemasan plastiknya–di Indonesia. Win Cowger dkk menemukan bahwa Big Food–seperti Coca Cola, PepsiCo, Uniliver, dan Nestle–telah menargetkan penjualan produknya ke negara-negara dengan penghasilan menengah ke bawah, di mana sistem pengelolaan sampahnya masih belum memadai, bahkan banyak melalui proses pembakaran.

Pesatnya penjualan dan mudahnya Big Food mempromosikan produknya tidak terlepas dari upaya untuk membiayai riset terkait nutrisi dan melakukan lobi kepada pemerintah untuk mempengaruhi rekomendasi diet dan kebijakan pangan, serta melemahkan regulasi.

Menurut WHO, masifnya pemasaran UPF dapat berdampak pada kesehatan jangka panjang dan mempengaruhi pemenuhan hak asasi manusia. Untuk itu penerapan regulasi dan pemantauan yang efektif diperlukan agar dapat melindungi masyarakat dan memastikan hak atas makanan yang cukup, hak atas kesehatan, serta hak budaya dapat terpenuhi. Pemerintah pun perlu mengambil langkah-langkah struktural yang tegas agar masyarakat dapat terinformasi tentang dampak dari konsumsi UPF, serta dapat beralih pada konsumsi makanan yang sehat dan minim olahan.

Selain itu, Joe Yates dkk juga merekomendasikan beberapa hal yang dapat diterapkan untuk mengatasi dampak buruk dari konsumsi UPF berlebih, yaitu:

  1. Mengkampanyekan dampak dari konsumsi UPF pada kesehatan serta polusi dari plastik dan paparan kimia pada kemasannya;

  2. Melakukan penelitian interdisipliner yang menjembatani isu kesehatan, lingkungan, dan sosial;

  3. Mendorong pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah struktural dalam mewujudkan transisi sistem pangan untuk mendukung permintaan dan akses terhadap makanan sehat;

  4. Mendorong industri untuk menciptakan bahan yang aman dan berkelanjutan, dan

  5. Mendorong industri plastik untuk transparan mengungkap daftar bahan kimia yang mereka gunakan pada produk mereka.

Di tengah masifnya produksi dan pemasarannya, dampak merugikan konsumsi UPF berlebih semakin sulit untuk dihindarkan. Imbas buruknya pun terus meningkat dengan adanya ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan. Untuk itu, melalui kesadaran terhadap konsekuensi ini, beralih ke berbagai pangan segar dan bergizi vital dilakukan, dengan dukungan pilihan pangan yang beragam. Maka, aksi kolektif dari berbagai pihak diperlukan karena kesehatan manusia dan kelestarian planet ini perlu diprioritaskan.

Sumber:

Next
Next

Care, connectivity, dan culture: Fondasi sosiokultural dalam program Makan Bergizi Gratis